Menteri PPPA Kecam Keras Dugaan Kekerasan Seksual Guru terhadap 23 Murid SD di Labuhanbatu Selatan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi. (Dok. Ist)

Faktamakassar.id, NASIONAL – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengecam keras dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum guru terhadap 23 murid di salah satu Sekolah Dasar (SD) Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara.

Insiden yang mencoreng dunia pendidikan ini mendorong Kementerian PPPA untuk mendesak aparat kepolisian segera mengusut tuntas kasus ini dan menangkap terduga pelaku yang dilaporkan masih buron.

“KemenPPPA mengecam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oknum guru pada 23 orang murid sekolah dasar di Labuhanbatu Selatan,” kata Menteri PPPA Arifah Fauzi di Jakarta, Minggu.

Menteri Arifah Fauzi menekankan bahwa kasus ini harus diproses secara hukum dengan tegas tanpa toleransi. Ia juga menyoroti kekuatan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang memungkinkan penegak hukum untuk bertindak tanpa perlu menunggu laporan resmi dari pihak korban.

“Kami minta pihak kepolisian dapat melaksanakan proses hukum secara tegas tanpa toleransi. Indonesia memiliki Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang dalam kasus ini adalah delik biasa, dapat diproses hukum tanpa adanya pengaduan dari pihak korban atau keluarga korban,” tegas Arifah Fauzi.

Ia menambahkan bahwa institusi pendidikan seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi anak-anak, dan tindakan asusila di lingkungan sekolah sama sekali tidak dapat dibenarkan.

“Kekerasan seksual di institusi pendidikan tidak bisa ditoleransi karena lingkungan sekolah dan guru seharusnya menjadi tempat aman bagi anak,” ujarnya.

Kasus dugaan kekerasan seksual guru ini pertama kali terungkap setelah lima orang tua murid memberanikan diri untuk melaporkan perbuatan terduga pelaku berinisial ANS (31), yang berprofesi sebagai guru olahraga. Tindakan bejat tersebut diduga telah terjadi berulang kali sejak Agustus 2024 saat jam pelajaran berlangsung.

Atas perbuatannya, terduga pelaku dapat dijerat dengan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya tidak main-main, yakni pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp5 miliar. Hukuman ini berpotensi diperberat sepertiga karena status pelaku sebagai tenaga pendidik dan jumlah korban yang lebih dari satu.

Selain itu, berdasarkan Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Nomor 17 Tahun 2016, pelaku juga dapat dikenai sanksi tambahan berupa pengumuman identitas, rehabilitasi, hingga pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *